Jakarta – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, mengungkapkan bahwa banyak kelas menengah yang sebelumnya bekerja di sektor formal kini beralih menjadi pekerja mandiri atau pekerja informal. Fenomena ini tidak terlepas dari pola kerja work from home (WFH) yang marak saat pandemi COVID-19.
Suharso mencontohkan bahwa banyak anak muda yang memilih menjadi freelancer di perusahaan asing karena pekerjaan tersebut bisa dilakukan dari jarak jauh.
Ia juga mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah menyusut menjadi di bawah 20 persen. Oleh karena itu, pemerintah akan meneliti lebih lanjut mengenai ke mana larinya kelas menengah tersebut.
Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014, Chatib Basri, mengungkapkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa kelas menengah sebesar 23 persen dari jumlah penduduk pada 2018, kemudian turun menjadi 21 persen pada 2019.
“Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17 persen, AMC naik menjadi 49 persen, kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen,” kata Chatib seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
BPS mencatat bahwa jumlah pekerja sektor informal cukup tinggi. Per Februari 2024, 59,17 persen pekerja bekerja di sektor informal, sedangkan 40,83 persen bekerja di sektor formal. Jumlah ini turun tipis dari 2023, yakni 60,12 persen pekerja informal dan 39,88 persen pekerja formal. Pada 2022, pekerja informal tercatat 59,97 persen dan pekerja formal 40,03 persen.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai bahwa banyaknya pekerja informal bisa berdampak buruk pada ekonomi. Hal ini terjadi karena pekerja informal biasanya tidak memiliki kontrak kerja yang jelas.
Absennya kepastian pendapatan akan melahirkan ketidakpastian pengeluaran pekerja informal yang berujung pada potensi pelemahan permintaan dan penurunan konsumsi rumah tangga. Penurunan konsumsi rumah tangga kemudian akan turut menurunkan prospek investasi.
Jika penerimaan menurun, maka kemampuan pemerintah untuk berbelanja akan berkurang. Sebagai risikonya, utang akan menjadi solusi penerimaan tambahan untuk negara.
Ronny mengatakan kondisi itu saat ini telah terjadi di Indonesia. Jumlah pekerja di sektor informal yang sangat besar membuat konsumsi cenderung stagnan bahkan semakin melemah. Pajak pun sulit ditingkatkan karena semakin banyak pekerja yang sulit untuk dikenai pajak lantaran pendapatannya tidak pasti di sektor informal.
Masalah lainnya adalah pekerja informal tidak memiliki akses kepada asuransi kesehatan dan jaminan hari tua. Mereka pun hampir pasti akan sangat kesulitan mendapatkan akses permodalan untuk memulai usaha baru. “Karena ketidakpastian pendapatan menyebabkan pekerja informal tidak ‘bankable’ di mata dunia perbankan,” katanya.
Ujungnya dari itu semua adalah kualitas dan standar hidup yang relatif rendah. Kualitas kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka juga menjadi ikut tertekan. Anak-anak mereka bisa menjadi rentan terhadap stunting dan putus sekolah.
Ronny mengatakan semakin besar jumlah pekerja yang masuk ke sektor formal maka akan semakin baik. Sektor formal sebaiknya 60 hingga 70 persen terhadap total pekerja. Untuk mencapai itu, dibutuhkan investasi masif terutama dari swasta, agar lapangan kerja formal semakin banyak tersedia.
Jika itu bisa dicapai, maka setoran pajak akan melonjak tajam, baik dari pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN) karena semakin banyak orang yang berpenghasilan tetap dan konsumsi terdongkrak secara masif sehingga meningkatkan penerimaan PPN dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Jika tidak, maka semakin banyak pekerja informal, maka lingkaran setan perlambatan ekonomi akan semakin tebal garisnya, yang kemudian semakin sulit untuk dimitigasi,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy, mengatakan mereka yang bekerja di sektor informal umumnya tidak punya jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan upah yang stabil. Akibatnya, pekerja sektor informal berpeluang masuk ke jurang kemiskinan.
Ketika mereka berpeluang jatuh ke jurang kemiskinan, maka pemerintah harus menyediakan dana bagi mereka. Namun kondisinya menjadi tidak sederhana karena negara berkembang seperti Indonesia relatif terbatas dalam kapasitas fiskal.
Di saat yang bersamaan, ketika mereka mendapatkan upah atau gaji di bawah batasan pendapatan kena pajak, maka pemerintah akhirnya kesulitan untuk bisa menarik pajak dari individu tersebut.