Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa profil risiko kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lebih tinggi dibandingkan dengan kredit korporasi dan rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh bisnis UMKM yang lebih rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat.
Berdasarkan data OJK, per Juni 2024, Non-Performing Loan (NPL) gross UMKM mencapai level 4,04%, yang jauh di atas rata-rata industri. Meskipun angka ini telah mengalami penurunan secara bulanan, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Menurut Dian, kenaikan NPL kredit UMKM telah dapat diprediksi sebelumnya dan sudah dimitigasi oleh perbankan melalui pembentukan cadangan yang cukup. Dengan demikian, tingkat rasio NPL UMKM masih tergolong dalam level yang dapat dikelola oleh bank.
Rasio kredit dalam risiko atau loan at risk (LAR) UMKM tercatat sebesar 13,50% pada Juni 2024, turun dari sebulan sebelumnya yang sebesar 13,38%. Angka ini semakin mendekati level sebelum pandemi, yaitu sebesar 12,74% pada Desember 2019.
Salah satu bank besar yang fokus pada kredit UMKM adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. NPL bank ini berada di posisi 3,05% per Juni 2024. Direktur Utama BRI, Sunarso, menyatakan bahwa posisi NPL kredit UMKM BRI masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata industri. Namun, BRI tetap menyiapkan strategi untuk mengantisipasi tren kenaikan NPL UMKM di perbankan nasional.
Sunarso menjelaskan bahwa BRI akan tetap menyalurkan kredit ke segmen UMKM pada sisa tahun berjalan, namun dilakukan secara selektif. Emiten bersandi BBRI ini akan memperketat kriteria penerima kredit dan menyeleksi portofolio kredit yang sudah ada.
Untuk mengantisipasi penurunan kualitas kredit NPL, BRI melakukan restrukturisasi. Jika kredit bermasalah tidak bisa direstrukturisasi, BRI terpaksa akan melakukan hapus buku atau write off.