Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan serius terkait berbagai ancaman bencana alam yang mengintai Indonesia. Mulai dari gempa bumi, tsunami, cuaca ekstrem, perubahan iklim, hingga letusan gunung berapi. Pemerintah diharapkan siap siaga dengan mitigasi bencana yang efektif untuk menekan jumlah korban seminimal mungkin, bahkan mencapai zero victim atau tanpa korban jiwa.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan wilayah dengan aktivitas kegempaan yang sangat tinggi. Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki 13 segmen megathrust yang berpotensi memicu gempa besar.
Selain itu, terdapat 295 segmen sesar aktif yang telah teridentifikasi, namun masih banyak yang belum teridentifikasi. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling rawan gempa. Daryono menambahkan bahwa Indonesia rawan gempa karena berada di daerah yang tertekan dari berbagai arah.
Ahli Gempa dan Tsunami dari GNS Science Selandia Baru, Aditya Gusman, menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, baik di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi, untuk perencanaan tata kota yang mengacu pada estimasi bahaya. Untuk pembangunan bangunan yang tidak terlalu krusial, seperti fasilitas umum berupa lapangan bola atau toilet umum, akan menggunakan estimasi periode ulang 100 tahun.
Pengamat Tata Kelola Kota dari Universitas Pakuan (Unpak), Budi Arief, menyatakan bahwa pemetaan wilayah-wilayah sesuai peruntukan dan kondisinya sangat mendesak dilakukan. Menurutnya, bencana memang bisa diprediksi, namun tidak ada yang dapat menebak kapan akan terjadi. Oleh karena itu, salah satu faktor yang perlu disiapkan adalah infrastruktur yang mumpuni.
Budi juga menyoroti pentingnya pengelolaan lahan yang terencana. Pemberian izin pemanfaatan lahan di suatu lokasi harus memperhitungkan potensi bencana yang mungkin terjadi. Dia juga menyoroti masih banyaknya pemukiman yang terbangun di sepanjang pinggiran sungai, yang bahkan mendapat pasokan listrik dan air.
Budi menambahkan bahwa potensi bencana tidak hanya datang dari kejadian alam, tetapi juga dari ledakan jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk di suatu lokasi terlalu padat, akan mengurangi peluang dan daya dukung infrastruktur yang tersedia. Salah satu cara strategis untuk menekan dampak bencana adalah dengan mengurangi lahan-lahan tertutup melalui pembangunan gedung vertikal, meskipun upaya ini berhadapan dengan perubahan budaya di Indonesia yang masih lebih mengutamakan rumah tapak.
Mengutip data Geoportal Data Bencana Indonesia, sepanjang 1 Januari hingga 12 Juni 2024, tercatat ada 891 bencana alam yang terjadi di Indonesia. Dari data tersebut, 8 kejadian berupa gempa bumi, 3 erupsi gunung api, 593 banjir, 157 kejadian cuaca ekstrem, 75 peristiwa tanah longsor, 43 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 7 kejadian kekeringan, dan 5 kejadian gelombang pasang dan abrasi. Tercatat, ada 267 orang korban meninggal dunia akibat bencana tersebut, 27 orang dilaporkan hilang, 410 orang luka-luka, dan 3.890.547 orang menderita dan mengungsi. Bencana tersebut juga mengakibatkan kerusakan rumah total sebanyak 38.155 unit.
Mengutip laporan World Risk Report 2023 di situs resmi World Population Review, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara berisiko tinggi terhadap bencana alam. Posisi pertama ditempati Filipina dengan indeks risiko bencana alam 46,86. Indonesia berada di posisi kedua dengan indeks risiko bencana 43,5. Dijelaskan bahwa Indonesia yang juga berada di Cincin Api Pasifik, terletak di tiga lempeng tektonik.
Setelah Indonesia, posisi ketiga, keempat, dan kelima sebagai negara paling rawan bencana ditempati India, Meksiko, dan Kolombia. Kelima negara ini masuk dalam daftar paling rawan bencana, sama-sama terletak di Cincin Api Pasifik.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengingatkan pentingnya kolaborasi dan kerja sama berbagai pihak untuk menjaga keamanan masyarakat dari bahaya bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi. Sebagian masyarakat masih belum memiliki akses terhadap informasi yang menggunakan teknologi canggih dengan pemodelan observasi berdasarkan data dan informasi. Dan, kalau pun memiliki akses atas informasi itu, mereka mungkin tidak memahami produk teknologi tinggi akibat kesenjangan antara teknologi canggih dan cara yang sederhana dan biasa.
Dwikorita mengingatkan bahwa meski pengamatan secara sistematis dilakukan selama 24 jam tanpa henti dengan teknologi canggih, masyarakat masih belum sepenuhnya aman. Oleh karena itu, kolaborasi dan kerja sama berbagai pihak sangat penting untuk menjaga keamanan masyarakat dari bahaya bencana alam.