Jakarta – Industri keramik nasional kini menghadapi tekanan berat akibat membanjirnya keramik impor dari Tiongkok yang merajai pasar domestik. Hal ini tercermin dari tingkat utilisasi pabrik keramik pada semester pertama tahun 2024 yang hanya mencapai 62%, turun dari 69% pada tahun 2023, dan jauh lebih rendah dibandingkan 78% pada tahun 2022.
Volume impor keramik dari Tiongkok pada semester pertama tahun 2024 meningkat sebesar 11,6%, mencapai 34,9 juta meter persegi. Kondisi ini memaksa sejumlah perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) demi menekan biaya operasional.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penurunan kinerja industri keramik nasional dari tahun ke tahun disebabkan oleh gempuran produk impor ubin keramik asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Para pelaku usaha bahkan telah menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk segera mengambil tindakan.
Lambannya penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor ubin keramik asal RRT memberikan peluang bagi para importir untuk terus melakukan impor dalam jumlah besar, melebihi rata-rata impor sebelumnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari pengenaan BMAD yang diperkirakan sebesar 40% hingga 50% sampai PMK BMAD tersebut diterbitkan, sehingga membuat kebijakan BMAD kurang efektif dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan.
Namun demikian, terdapat peluang bagi kondisi industri keramik untuk membaik. Jika pasar dalam negeri menjadi lebih kondusif, utilisasi pabrik keramik diperkirakan akan meningkat. Para pelaku industri berharap adanya kebijakan yang lebih tegas dan cepat dari pemerintah untuk melindungi industri keramik nasional dari serbuan produk impor.