Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengungkapkan bahwa rencana peningkatan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sekitar 12 persen berpotensi mengakibatkan kontraksi ekonomi. Esther menjelaskan bahwa ruang fiskal Indonesia saat ini sangat terbatas karena beberapa faktor, dan peningkatan PPN hanya akan memperburuk kondisi ekonomi.
Menurut Esther, ada beberapa faktor yang berkontribusi pada kecilnya ruang fiskal Indonesia. Faktor-faktor tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi yang rendah, rasio pajak yang cenderung menurun, penerimaan pajak negara yang juga menurun, belanja modal yang lebih kecil dibandingkan pengeluaran rutin, serta utang yang relatif tinggi.
Berdasarkan analisis Indef pada tahun 2021, lembaga tersebut mencoba menghitung skenario kenaikan tarif PPN menjadi 12,5 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan PPN akan menyebabkan kontraksi ekonomi, yang berarti upah nominal, pendapatan riil, Indeks Harga Konsumen (IHK), pertumbuhan ekonomi, konsumsi masyarakat, serta ekspor-impor semuanya akan mengalami penurunan.
Kenaikan tarif PPN ini merupakan bagian dari program perpajakan Presiden Joko Widodo yang akan dilanjutkan oleh presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto. Prabowo berencana menaikkan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per Januari 2025, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen telah diubah menjadi 11 persen per 1 April 2022, dan akan naik lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) UU HPP.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini stagnan di angka sekitar 5 persen, berdasarkan data dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Rasio pajak negara dari tahun 1972 hingga 2023 cenderung menurun dan rendah, terakhir berada di angka 10 persen pada tahun 2023, menurut data Kementerian Keuangan. Penerimaan pajak negara pun hanya mencapai 10 persen dari produk domestik bruto (PDB), dengan target yang hanya tercapai pada tahun 2021, 2022, dan 2023. Jika melihat pengeluaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), belanja modal lebih kecil dibandingkan pengeluaran rutin, padahal menurut Indef seharusnya terjadi sebaliknya.
Rasio utang terhadap PDB sekitar 38 persen tahun ini, menurut data Kementerian Keuangan, dengan kenaikan tiga kali lipat selama masa pemerintahan Jokowi.
Sementara itu, presiden terpilih Prabowo Subianto sempat menyatakan optimismenya untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 8 persen. Menurut Indef, hal ini memerlukan upaya keras, dan kapasitas fiskal harus diperluas dengan meningkatkan penerimaan negara serta bersikap bijak dalam alokasi anggaran.