Beirut – Mantan brigadir jenderal Lebanon, Mounir Shehada, mengungkapkan bahwa sekitar 5.000 perangkat penyeranta yang diimpor oleh Hizbullah lima bulan lalu hampir pasti telah dilengkapi dengan bahan peledak sebelum tiba di Lebanon. Shehada, yang juga mantan koordinator pemerintah Lebanon dengan misi penjaga perdamaian PBB UNIFIL, menyampaikan hal ini kepada Anadolu pada Rabu.
Shehada menjelaskan bahwa perangkat nirkabel tersebut dilengkapi dengan beberapa gram bahan peledak yang sangat sulit dideteksi. Bahan peledak tersebut ditempatkan di dalam baterai sedemikian rupa sehingga tidak dapat dideteksi oleh sensor atau alat pendeteksi bahan peledak apa pun.
Menurut Shehada, rekaman menunjukkan bahwa terjadi ledakan dahsyat, sementara baterai litium biasanya hanya menghasilkan nyala api kecil dan ledakan sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat tersebut telah dicurangi dengan bahan peledak tambahan.
Mengenai lokasi atau negara di mana perangkat tersebut dipasang, Shehada menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk membahas hal itu. Namun, ia tidak menutup kemungkinan bahwa kecurangan tersebut bisa saja terjadi selama tahap produksi atau pada tahap lainnya.
Setidaknya 12 orang tewas dan hampir 3.000 lainnya terluka ketika penyeranta meledak pada Selasa (17/9) di beberapa daerah di Lebanon, termasuk ibu kota Beirut. Media Lebanon melaporkan bahwa ledakan ini merupakan pelanggaran sistem yang dilakukan oleh Israel.
Hingga saat ini, tidak ada komentar dari Israel mengenai ledakan penyeranta tersebut. Namun, Hizbullah berjanji akan melakukan pembalasan terhadap Israel. Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah, dijadwalkan memberikan pidato pada Kamis pukul 17:00 waktu setempat (22.00 WIB) mengenai ledakan tersebut, termasuk cara perangkat tersebut dicurangi dan tanggapan kelompoknya terhadap ledakan.
Ledakan penyeranta ini terjadi di tengah meningkatnya eskalasi perbatasan antara Israel dan Hizbullah. Kedua pihak telah terlibat dalam perang lintas batas sejak dimulainya perang mematikan Tel Aviv di Jalur Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 41.200 orang setelah serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu.