Jakarta – Ekonom Senior dan mantan Kepala Eksekutif LPS 2015-2020, Fauzi Ichsan, menegaskan bahwa tidak ada alasan kuat bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga acuannya secara agresif pada rapat dewan gubernur bulan ini. Menurutnya, kondisi perekonomian saat ini berbeda dengan masa setelah krisis finansial 2008 dan krisis akibat Pandemi Covid-19 pada 2020.
Fauzi Ichsan menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tetap terjaga di kisaran 5%, dan nilai tukar rupiah masih mampu menguat ke level Rp 15.342/US$, meskipun suku bunga acuan BI Rate berada di level 6,25% dengan inflasi rendah di kisaran 2,1%. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini cukup stabil.
Menurut Fauzi, dalam menjaga stabilitas moneter saat ini, BI harus fokus pada stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Stabilitas ini sangat berhubungan pada suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, yaitu The Federal Reserve (The Fed). Oleh karena itu, BI tidak akan mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunga acuannya sebelum The Fed terlebih dahulu memangkas suku bunga acuan Fed Fund Rate.
Pelaku pasar keuangan telah memperkirakan bahwa The Fed akan mulai memangkas suku bunga acuannya yang saat ini berada di level 5,25%-5,5% secara bertahap mulai bulan ini sebesar 25 basis points (bps). Dengan tingkat inflasi di AS yang kini sudah di kisaran 2,5%, suku bunga riilnya seharusnya sudah di level 3,5%.
Fauzi Ichsan menambahkan bahwa dengan ekspektasi tersebut, rupiah telah mampu menguat dari level sebelumnya yang terus bergerak di kisaran Rp 16.000/US$. Kondisi pelemahan ekonomi saat ini berbeda dengan yang terjadi pasca krisis 2008 dan 2020 yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi anjlok dan nilai tukar tersungkur.
Fauzi juga menyatakan bahwa pelaku pasar keuangan memandang aktivitas ekonomi dalam 18 bulan ke depan sebetulnya positif. The Fed harus terus menurunkan suku bunga acuannya ke level yang pas dengan level real interest rate-nya, meskipun bertahap. Diperkirakan akan ada tiga kali penurunan 25 basis points pada tahun ini, dan berlanjut hingga 2025 secara agresif hingga ke level 3,5%.