Jakarta – Dalam dua hari terakhir, warga Lebanon dihantui oleh rentetan ledakan dari perangkat komunikasi seperti pager dan walkie talkie. Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah perangkat telekomunikasi dapat digunakan sebagai ‘senjata’ pembunuh?
Lebanon diguncang oleh ledakan maut setelah ribuan pager, walkie talkie, dan radio meledak secara serentak pada Selasa (17/9) dan Rabu (18/9). Pada hari Selasa, ledakan pager mengakibatkan 12 orang tewas dan 2.800 orang terluka. Keesokan harinya, ledakan berbagai perangkat elektronik, terutama walkie talkie, menewaskan 20 orang dan melukai 450 lainnya.
Kelompok milisi Hizbullah menuding Israel sebagai dalang di balik rentetan ledakan ini. Namun, apakah benar perangkat komunikasi bisa dijadikan senjata untuk membunuh seseorang? Israel sendiri memiliki rekam jejak panjang dalam memanfaatkan perangkat telepon dan turunannya untuk melacak, mengawasi, dan bahkan membunuh musuh-musuh mereka.
Dilansir dari Financial Times, pada tahun 1972, sebagai bagian dari balas dendam kepada Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) atas pembunuhan 11 atlet Israel di Olimpiade Munich, mata-mata Mossad mengganti alas marmer telepon yang digunakan oleh perwakilan PLO di Paris, Mahmoud Hamshari, dengan peledak. Pada 8 Desember, ketika Hamshari menjawab telepon, tim Israel di dekatnya meledakkan bahan peledak tersebut dari jarak jauh, menyebabkan Hamshari kehilangan kakinya dan kemudian meninggal.
Pada tahun 1996, badan keamanan internal Israel, Shin Bet, membunuh ahli bom Hamas Yahya Ayyash dengan menggunakan ponsel Motorola Alpha yang telah dimodifikasi. Ponsel tersebut berisi sekitar 50 gram bahan peledak yang cukup untuk membunuh siapa saja yang mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya.
Seorang ahli keamanan yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa seseorang bisa saja mengutak-atik perangkat ini sebelum didistribusikan, misalnya dengan menyembunyikan bahan peledak yang dapat diledakkan dari jarak jauh ketika sinyal tertentu dikirim ke pager. Namun, ia mengakui bahwa pernyataan tersebut baru sebatas spekulasi karena belum ada yang bisa membuktikan kebenarannya. Ia juga menambahkan bahwa kecil kemungkinan ledakan itu disebabkan oleh baterai yang terlalu panas.
Salah satu sumber keamanan Lebanon mengatakan bahwa sejumlah bahan peledak ditanam di dalam 5.000 pager yang dipesan oleh Hizbullah untuk para anggotanya. Ia menuding badan intelijen Israel, Mossad, bertanggung jawab atas insiden ini. Namun, sampai saat ini belum ada penjelasan resmi mengenai meledaknya ribuan pager dan walkie talkie milik Hizbullah di Lebanon.
Rumor yang berkembang menjelaskan bahwa kemungkinan pager yang meledak itu sudah diretas dan menyebarkan malware ke perangkat-perangkat tersebut. Menurut sumber Wall Street Journal, beberapa anggota Hizbullah merasa pager mereka menjadi panas dan melemparkan sebelum meledak. Ledakan tersebut terjadi sekitar pukul 15.30 hingga 16.30 waktu setempat.
Sebuah pesan suara beredar di antara para anggota kelompok, seperti yang dipublikasikan kepada Washington Post, memperingatkan mereka untuk membuang perangkat yang terkena dampak. Lukasz Olejnik, konsultan independen dan peneliti senior tamu di Department of War Studies King’s College London, mengatakan bahwa kecil kemungkinan insiden tersebut berkaitan dengan peretasan digital.
Michael Horowitz, kepala intelijen di perusahaan manajemen risiko Timur Tengah dan Afrika Utara, Le Beck International, menjelaskan bahwa jika serangan itu berbasis rantai pasokan, maka bisa jadi serangan itu memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dipersiapkan dan melibatkan penyusupan ke pemasok dan menempatkan bahan peledak di dalam pager yang baru.