in , ,

Mengapa Jokowi Khawatir dengan Ekonomi Gig? Temukan Alasannya!

Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tiba-tiba mengutarakan kekhawatirannya mengenai fenomena ekonomi gig. Menurut Jokowi, tren ini dapat menjadi ancaman bagi tenaga kerja di Indonesia karena perusahaan lebih cenderung merekrut pekerja lepas atau freelancer daripada pekerja tetap.

Jokowi memprediksi bahwa baik Indonesia maupun dunia global akan menghadapi kondisi di mana peluang kerja lebih sedikit dibandingkan jumlah pelamar kerja. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya angka pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi.

Mengutip berbagai sumber, ekonomi gig merujuk pada sistem kerja di mana pekerja dipekerjakan untuk proyek-proyek jangka pendek atau berdasarkan kontrak sementara. Istilah ‘gig’ berasal dari Bahasa Inggris, yang menjelaskan pekerjaan seperti musisi yang dibayar per penampilan, bukan per bulan.

Meskipun tidak memiliki pendapatan tetap, pekerja dalam ekonomi gig sering kali mendapatkan bayaran yang cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup dalam beberapa minggu. Di Inggris, sekitar 5 juta orang bekerja dalam sistem ini, mencakup profesi seperti kurir, pengemudi transportasi online, jurnalis lepas, desainer grafis, hingga content creator.

Kendati menimbulkan kekhawatiran, banyak sektor diperkirakan akan mengikuti tren ini karena ekonomi gig dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Bagi perusahaan, keuntungannya meliputi biaya rekrutmen yang lebih rendah, akses ke talent pool yang lebih luas, dan proses rekrutmen yang lebih cepat. Sementara itu, pekerja mendapatkan fleksibilitas, kemandirian, serta peluang pendapatan yang lebih tinggi.

Namun, ekonomi gig juga membawa tantangan. Dari sisi perusahaan, kontrak yang rumit dan ketidakpastian kerja menjadi kendala. Sedangkan bagi pekerja, risiko seperti stres, terbatasnya tunjangan, dan ketidakpastian pekerjaan sering kali muncul karena sifat pekerjaan yang berbasis proyek.