Jakarta – Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menjadi sorotan karena dianggap mengancam industri tembakau. Namun, di balik itu, industri susu bayi juga terancam oleh regulasi baru ini, terutama terkait ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam Pasal 33 PP 28/2024, produsen atau distributor susu formula bayi dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif. Secara teknis, akan ada pengetatan dalam pemberian informasi oleh tenaga medis maupun influencer, serta pembatasan iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik, media luar ruang, dan media sosial.
Berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja, korban PHK di industri manufaktur telah mencapai 46 ribu pekerja sepanjang tahun 2024. Sektor tekstil, garmen, dan alas kaki menjadi penyumbang terbesar PHK akibat anjloknya permintaan konsumen dalam tiga tahun terakhir.
Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak industri yang tengah mengalami kesulitan saat ini. Muncul kekhawatiran bahwa regulasi baru dapat membuat industri susu bayi semakin terpuruk. Selain itu, industri media juga bisa ikut terdampak. Padahal, embatasan kegiatan promosi susu formula telah iberlakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999.
Tujuan dari regulasi ini adalah untuk lebih menggiatkan pemberian ASI eksklusif. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pemberian ASI eksklusif di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2022, dari 68,84% menjadi 72,04% pada tahun 2022 dan 73,9% pada tahun 2023. Namun demikian, pada tahun 2023 telah terjadi perlambatan penurunan angka prevalensi stunting yang hanya turun sebesar 0,1% saja dari angka 21,6% pada tahun 2022 menjadi 21,5% pada tahun 2023.