Jakarta – Pada Jumat (4/10), kurs rupiah dibuka pada level Rp15.525 per dolar AS. Mata uang Garuda mengalami penurunan sebesar 96 poin atau melemah 0,63 persen dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya. Fenomena ini mencerminkan tren negatif yang juga dialami oleh sejumlah mata uang di kawasan Asia.
Mata uang seperti peso Filipina, baht Thailand, ringgit Malaysia, yuan China, dan dolar Hong Kong tercatat bergerak di zona merah. Sementara itu, beberapa mata uang lainnya seperti won Korea Selatan, dolar Singapura, dan yen Jepang justru menunjukkan penguatan.
Ariston Tjendra, seorang analis pasar keuangan, mengungkapkan bahwa rupiah berpotensi mengalami pelemahan lebih lanjut pada hari ini. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi adalah data ekonomi Amerika Serikat yang masih menunjukkan kekuatan. Hal ini mengurangi kemungkinan Bank Sentral AS, The Fed, untuk melakukan pemangkasan suku bunga, yang pada gilirannya memberikan tekanan pada mata uang negara berkembang termasuk rupiah.
Berdasarkan sentimen yang ada, Ariston memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah akan bergerak dalam rentang Rp15.380 hingga Rp15.460 per dolar AS pada hari ini. Proyeksi ini mencerminkan ketidakpastian yang masih melingkupi pasar keuangan global, terutama terkait kebijakan moneter di Amerika Serikat.
Pelemahan rupiah ini tentunya memiliki implikasi terhadap perekonomian Indonesia. Dengan nilai tukar yang lebih lemah, biaya impor akan meningkat, yang dapat mempengaruhi harga barang dan jasa di dalam negeri. Selain itu, investor asing mungkin akan lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya di Indonesia, mengingat risiko nilai tukar yang fluktuatif.