Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait meningkatnya jumlah generasi muda yang terperangkap dalam jeratan utang, terutama melalui layanan beli sekarang bayar nanti atau Buy Now Pay Later (BNPL). Fenomena ini mengindikasikan adanya tantangan serius dalam literasi keuangan di kalangan generasi muda.
Wakil Ketua OJK, Mirza Adityaswara, menyoroti bahwa salah satu penyebab utama dari situasi ini adalah rendahnya tingkat literasi keuangan di kalangan anak muda. Menurutnya, banyak dari mereka yang belum memahami sepenuhnya risiko dan tanggung jawab yang datang bersama dengan penggunaan layanan kredit seperti BNPL.
Mirza menjelaskan bahwa layanan paylater yang awalnya hanya tersedia di perusahaan pembiayaan kini telah meluas ke sektor perbankan. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, pengguna layanan ini telah mencapai angka 20 juta orang. Angka ini menunjukkan betapa cepatnya adopsi layanan ini di kalangan masyarakat, khususnya anak muda.
Namun, Mirza menekankan bahwa pertumbuhan ini harus diimbangi dengan edukasi keuangan yang memadai. Ia mengingatkan para penyedia layanan untuk tidak hanya fokus pada penjualan produk, tetapi juga memberikan edukasi kepada konsumen mengenai penggunaan yang bijak dan bertanggung jawab.
Penggunaan layanan PayLater yang tidak bijak dapat membawa dampak negatif di masa depan. Semua transaksi kredit yang dilakukan melalui PayLater akan tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik OJK. SLIK ini berfungsi mencatat skor atau riwayat kredit seseorang, yang nantinya digunakan oleh perbankan untuk menilai kelayakan kredit nasabah, termasuk untuk pengajuan Kredit Perumahan Rakyat (KPR).
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen (PEPK), Friderica Widyasari Dewi, menyatakan bahwa OJK telah menggandeng The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk meningkatkan literasi keuangan di Indonesia. Saat ini, tingkat literasi keuangan di Tanah Air baru mencapai sekitar 65 persen.
Kolaborasi ini diwujudkan melalui penyelenggaraan OECD/INFE-OJK Conference yang membahas berbagai isu edukasi keuangan di tingkat global. Tujuan dari kolaborasi ini adalah agar Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara lain dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakatnya.
Friderica juga menyoroti bahwa banyak masyarakat yang terlalu percaya pada investasi yang dipromosikan oleh influencer tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut mengenai produk tersebut. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain.
Kerjasama dengan OECD diharapkan dapat menghasilkan solusi terbaik untuk meningkatkan literasi keuangan, sekaligus mengurangi ketergantungan utang di kalangan generasi milenial. Friderica berharap bahwa kolaborasi dengan lembaga internasional seperti OECD akan semakin meningkatkan literasi keuangan di dalam negeri.